Sabtu, 05 Februari 2022

Gunung Kelimutu, ‘Pintu’ Menuju Surga dan Neraka


GUNUNG Kelimutu terkenal dengan Danau Tiga Warna di kawah gunung yang penuh misteri itu.  Menurut cerita dan kepercayaan warga setempat, Gunung Kelimutu merupakan 'pintu' bagi para arwah manusia menuju surga dan neraka, benarkah?

Sejak ratusan atau mungkin ribuan tahun yang lalu, masyarakat yang bermukim di lereng gunung Kelimutu  telah meyakini gunung itu sebagai tempat tujuan akhir bagi arwah (roh/jiwa orang yabg telah meninggal dunia) dari orang Lio (salah satu suku di Pulau Flores, NTT, red).

Hal itu tercermin dalam bahasa/syair yang sering diucapkan orang Lio bagi orang yang telah meninggal, “Kai mutu gu, ia pawi dowa” (Dia sudah dipanggil Mutu dan Ia).

Mutu adalah Gunung Kelimutu dan Ia adalah Gunung Ia. Keduanya adalah nama gunung berapi di Kabupaten Ende, NTT. Atau dalam kalimat, “Kai mbana dowa da ghele mutu” (Dia sudah pergi ke Mutu).

Keyakinan tersebut pada tahun 1970-an, . pernah diekspresikan lewat lagu Lio, yang berjudul “Mbulu”. Dalam lagu tersebut terdapat sepotong syair, “Mbulu, kau mbana ghele Mutu. Kau mula welu muku e” (Mbulu, kau pergi ke Mutu. Kau tanamkan pisang (untuk kami)).

Keyakinan tersebut kian menguat seiring banyaknya misteri yang dialami di Gunung Kelimutu dan kawasan sekitarnya. Beberapa diantaranya diceritakan dalam tulisan ini.

Berpapasan dengan Arwah

Kita awali cerita ini dari kaki Gunung Kelimutu dan kawasan sekitarnya. Bagi masyarakat di kawasan Wiwi Pemo, di kaki selatan, kampung Moni, Lia Sembe dan Waturaka di kaki timur juga dikampung Manukako dan Pemo di lereng selatan Kelimutu bukanlah peristiwa yang luar biasa jika mereka berpapasan dengan arwah.

Peristiwa itu sudah sering mereka alami. Tidak saja saat senja, tetapi juga pada pagi dan siang hari. Sangat sering peristiwa itu mereka alami dalam kegiatan keseharian mereka.

Di pagi hari dalam perjalanan menuju ladang, warga tidak jarang bertemu dengan orang asing yang sedang beristirahat. Orang itu kadang sendirian, kadang  juga  bersama beberapa orang. Ketika berpapasan, orang asing itu menanyakan berapa jauh lagi jarak ke Kelimutu.

Kadang orang asing itu juga meminta air kepada warga karena kehausan. Air itupun diminum layaknya manusia biasa. Warga hanya tertegun ketika mendapat kabar bahwa di kampung lain ada yang meninggal. Ternyata yang diberinya minum tadi adalah arwah (Roh orang yang telah meninggal dunia, red).

Arwah – arwah itu juga sering berpapasan dengan para ibu di kampung-kampung di sekitar Gunung Kelimutu di kala mereka sedang mencuci di kali. Konon, karena tidak tahan panas, maka pada siang hari  arwah-arwah itu memilih melintas di kali-kali di sekitar kampung itu.

Saat arwah-arwah itu melintas biasanya pada jam dua belas siang. Karena itu para ibu di kampung-kampung du sekitar Gunung Kelimutu selalu menghindar untuk mencuci pada jam-jam itu.


Kalau arwah itu laki - laki, biasanya mereka terus melintas tanpa mengusik sang ibu yang sedang mencuci. Namun kalau arwah itu perempuan, apalagi orang tersebut dikenal baik, maka mereka akan beristirahat sejenak dan bertukar cerita dengan sang ibu layaknya manusia biasa.

Ibu itu tidak percaya saat tiba dikampungnya disampaikan bahwa kenalan baiknya meninggal dunia. Mana mungkin, sanggah sang ibu orang itu baru saja bercerita dengannya dikali sambil menggendong bayinya. Ibu itu kaget kalau kenalanya itu meninggal saat melahirkan. Hiii .... ngeri.

Pengalaman “seram” di siang hari juga sering dialami warga  kampung Manukako dan Pemo yang berladang di lereng Gunung Kelimutu. Karena mereka umumnya membudidayakan kentang, wortel, jahe, jeruk, dan pisang, maka ladang mereka sering disinggahi para arwah.

Menempuh perjalan jauh dari tempat asalnya rupanya membuat arwah-arwah itu lapar. Tanpa malu-malu arwah-arwah itu meminta pisang, jeruk, bahkan kentang untuk dibakar dan dimakan. Warga pun memberikannya tanpa curiga. Sekembalinya dikampung barulah diketahui bahwa yang mampir tadi adalah  “tamu dari dunia lain”.

Dibanding saat pagi dan siang, saat tanga sala nia ngata (senja) adalah saat warga paling sering berpapasan dengan arwah. Menurut kepercayaan setempat, arwah sengaja memilih berjalan saat senja, karena matahari telah tenggelam sehingga panasnya tidak terasa lagi.

Di samping itu, temaran senja menyulitkan orang untuk mengenali wajahnya dengan baik. Sehingga sulit bagi warga untuk membedakan mana warga setempat dan mana yang arwah.

 Pernah terjadi di suatu kampung, karena dingin, warga lalu menyalakan api di tepi jalan untuk berdiang. Sambil berdiang mereka mengobrol tentang kejadian sehari-hari yang mereka alami. Karena sudah larut malam, mereka pun bubar dan pulang ke rumah masing-masing.

Namum alangkah terkejutnya orang-orang itu ketika mereka mendapati mereka hanya tinggal berenam sedangkan saat berdiang tadi jumlah mereka tujuh orang. Rupanya ada arwah yang ikut berdiang.

Karena Gunung Kelimutu dan kampung-kampung di sekitarnya berhawa dingin, maka sang arwah memilih untuk berdiang sesaat  untuk menghangatkan tubuh sebelum melanjutkan perjalanan menuju puncak Gunung Kelimutu.

Pere Konde 

Pere Konde (Pintu milik Konde). Disebut Pere Konde karena pintu tersebut milik Konde Ratu, sang penguasa Gunung Kelimutu dan kawasan sekitarnya.

Bagi kalangan beragama, pintu tersebut sama halnya seperti pintu surga. Tempat untuk memutuskan seseorang  layak masuk  surga atau neraka. Pere Konde adalah tempat untuk menentukan apakah seseorang sudah layak untuk masuk ke Kelimutu atau belum. Jika dinilai layak, maka diputuskan pula  di danau manakah arwahnya layak ditempatkan. Setelah mendapat penempatan baru dipersilahkan untuk masuk.

Pere Konde dijaga oleh Konde  sendiri. Ketentuan yang telah ditetapkan olehnya tidak dapat dingganggu gugat oleh para arwah. Konon diceritakan ada arwah yang mencoba menentang keputusan Konde. Oleh Konde, arwah itu tidak diijinkan untuk masuk ke puncak Kelimutu,  juga tidak dijinkan untuk kembali ke badannya semula. Akibatnya arwah itu jadi arwah penasaran.

Arwah penasaran inilah yang sering mengganggu orang-orang yang sering melakukan kegiatan di sekitar Pere Konde. Para pekerja yang memperbaiki jalan akses ke Kelimutu sering mengalami hal ini. Kadang saat  mengangkut material untuk pengerjaan jalan itu, para sopir dan pekerja melihat ada kepala menggelinding di tengah jalan.

Ada juga yang melihat kaki-kaki manusia bergelantungan di atas pohon. Jika para sopir melihat hal itu, mereka mematikan mesin kendaraan lalu menyalakan rokok. Rokok itu dibuang ke arah “penampakan” itu terjadi. Lalu melanjutkan perjalanannya.

Berkaitan dengan kewenangan Konde tersebut, ada arwah yang ditolak oleh Konde karena dinilai belum layak atau belum saatnya. Hal itu bisa diketahiu dari cerita orang yang koma, atau sudah mati untuk beberapa saat dan hidup kembali.

Menurut orang itu, dirinya sudah tiba di Pere Konde dan sempat bertemu dan disambut dengan penuh sukacita oleh arwah para leluhur. Tidak berapa lama disana, Konde yang menyerupai wajah para leluhur itu memintanya untuk kembali ke kampungnya dengan berbagai alasan. Orang itu pun pulang dan hidup kembali.
   
Sementara bagi arwah yang diijinkan oleh Konde untuk masuk ke Kelimutu, dipilahnya menjadi tiga bagian. Bagi orangtua yang selama hidupnya selalu mengamalkan nilai-nilai warisan dan selalu baik kepada orang lain, oleh Konde ditempatkan pada danau yang berwarna putih (kini berwarna hijau kehitaman). Danau itu selanjutnya diberi nama Tiwu Ata Bupu.

Sedangkan bagi kaum muda, yang meskipun tahu nilai-nilai warisan leluhur, namun karena darah mudanya dia sering memberontak dan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai tersebut, ditempatkan Konde pada danau yang berwarna biru (kini berwarna hijau pupus). Karena dihuni oleh kaum muda, maka danau ini dinamakan Tiwu Ko’o Fai Nuwa Muri.

Bagi orang-orang yang selama hidupnya sama sekali mengabaikan nilai-nilai warisan dari leluhur, dimana dengan ilmu santet yang dimilikinya dia biasa membuat orang sakit, membuat orang gila, bahkan membunuh orang, maka oleh Konde dia ditempatkan di danau yang berwarna merah (kini berwarna hijau pupus).

Karena danau itu ditempatkan untuk para Ata polo (tukang santet, maka danau itu dinamakan Tiwu Ata Polo. Di danau itulah mereka mendapatkan pembalasannya. Mereka akan mengalami penyiksaan yang tiada akhir dan  dan penderitaan yang abadi.
 
Bagi warga yang hendak menyaksikan  keindahan ke tiga danau di puncak Kelimutu hendaknya mawas diri jika sudah tiba di Pere Konde.

Letaknya di sebuah tikungan setelah pos penjagaan jawagana yang terakhir. Para pengunjung sangat dianjurkan untuk tidak bersuara keras atau berteriak. Konon, jika berteriak, Konde yang sedang melaksanakan tugasnya akan terganggu. Jika Konde terganggu maka pengunjung yang bersangkutan akan mendapat balasannya, entah itu menceret, meriang, bahkan pingsan mendadak.

 Hal lain yang juga harus diingat oleh pengunjung  adalah  jangan menginginkan makanan atau minuman  jika sedang berada di Pere Konde. Karena tanpa sepengetahuan pengunjung, tiba-tiba ada seorang yang menawarkan makanan dan minuman yang diinginkan itu. Jika sang pengunjung memakan atau meminum apa yang ditawarkan itu, maka dijamin tidak berapa lama lagi arwah sang pengunjung akan kembali ke Kelimutu alias meninggal dunia.

Dia telah bersedia menikmati makanan dan minuman dari Kelimutu. Berarti arwahnya sudah siap untuk dipanggil ke Kelimutu.

Kampung Arwah di Puncak Kelimutu

Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, pernah dibangun sebuah pasanggrahan di puncak Kelimutu. Pasanggrahan itu dilengkapi dengan penjaganya. Para pimpinan pemerintahan Belanda itu biasanya berangkat dari Ende pada  sore hari seusai melaksanakan tugasnya dan pada malam harinya menginap di pasanggrahan.

Mereka menginap dengan tujuan untuk menikmati terbitnya matahari di puncak gunung itu. Jika tamu-tamu itu ada, maka malam hari dipuncak  Kelimutu adalah malam yang sunyi yang hanya diramaikan oleh suara binatang malam.
   
Namun pada saat tamu-tamu itu sudah kembali ke Ende, malam-malam di puncak Kelimutu adalah malam yang sangat menyiksa bagi para penjaga pasanggrahan itu. Suasana di sekitar pasanggrahan itu layaknya kampung besar. Terdengar suara orang yang memanggil anaknya atau suara orang yang memanggil babi peliharaanya.

Suara-suara lain terdengar berbincang yang di selai dengan tawa riang. Juga ada suara orang yang menyanyi, meniup suling  yang diiringi irama pukulan gendang. Namun herannya ketika mereka keluar, mereka mendapati tidak ada siapa-siapa di luar pesangrahan itu.

Karena takut, para penjaga memilih untuk kembali ke kampungnya setelah tamu-tamu itu pergi. Setelah merdeka, tidak ada tamu yang berani untuk menginap di pasanggrahan itu hingga akhirnya rusak.

Lain lagi dengan orang yang mencari ilmu dengan mencoba bertapa di puncak kelimutu. Menurut penuturan orang itu, pada sore harinya tidak terjadi apa-apa di sekitar tugu, tempatnya duduk. Ketika malam kian larut, situasi di sekitarnya mulai terdengar ramai. Saat dia membuka mata, tampaklah orang-orang tua sedang duduk  berdiang di perapian yang terdapat di Tiwu Ata Bupu. Mereka tampak bersenda gurau sambil memakan ubi yang sudah dibakar di perapian dan meminum moke. Ada diantaranya yang menyodorkan ubi dan moke kearahnya namun dia menolak.

Di Tiwu Ko’o Fai Nuwa Muri tampak sekelompok anak muda sedang bernyanyi dan menari dengan riangnya. Rupanya mereka sedang berpesta. Di salah satu meja tampak terhidang daging dan aneka minuman keras.

Beberapa diantaranya sedang mabuk. Mereka menari sambil terhuyung-huyung. Ada seseorang dari antara yang mabuk itu yang mengulurkan segelas minuman keras kepadanya, namun dia menolaknya.

Ketika pandanganya dialihkan ke Tiwu Ata Polo, tampak banyak kepala yang menyembur dari danau yang berwarna merah darah itu. Mereka berteriak dan mengangis pilu karena tidak kuat menahan  penyiksaan dan penderitaan abadi di dalam danau itu. Mulut dan gigi mereka di penuhi darah. Terlihat mereka sedang mengunyah potongan-potongan daging. Seseorang menyodorkan sepotong daging kearahnya.

Astaga, tampak jari-jari tangan manusia. Ternyata  yang mereka kunyah itu daging manusia. Melihat itu sang pertapa pun lari terbirit-birit meninggalkan puncak Kelimutu menuju kampung terdekat.

Jika kita menyimak fakta-fakta dan kejadian-kejadian aneh di Gunung Kelimutu dan sekitarnya dengan ‘kacamata’ ilmu pengetahuan, kita akan menyimpulkan bahwa cerita-cerita itu adalah mitos.

Kalau dipikir secara rasional, Kelimutu  hanyalah sebuah gunung yang tidak ada bedanya dengan gunung-gunung yang ada di wilayah kabupaten Ende, kalau pun puncaknya terdapat tiga danau berbeda warna, itu semata hanya terjadi karena gejala alam. Lalu untuk apa kita mempercayai cerita-cerita seperti itu?

Jika kita ingin ‘membedah’ cerita tentang Kelimutu secara rasional maka timbul pertanyaan, mengapa hingga kini tidak ada penjelasan rasional tentang hilangnya beberapa wisatawan mancanegara di puncak Kelimutu? Mengapa dalam upacara pencarianya harus menggunakan upacara adat, yang dianggap kuno dan mitos sebagai salah satu upaya dalam pencarian wisatawan tersebut.

Mengapa seorang wisatawan yang biasa membawa perlengkapan untuk dapat bertahan dalam keadaan darurat, tidak dapat menyelamatkan diri di puncak Kelimutu bahkan jenazahnya pun tidak ditemukan?

Apakah karena dia telah melanggar aturan yang berlaku dan membuat Konde marah? Biarlah alam yang menjawabnya.

Kalau kita bertanya, apakah ilmu pengetahuan bisa menjelaskan definisi dari  roh/jiwa/arwah manusia? Dari mana asalnya? Ke mana roh/jiwa/arwah manusia akan pergi setelah meninggal dunia? Apakah surga dan neraka? Dimana letaknya?

Sudah pasti Ilmu Pengetahuan tak dapat menjawabnya. Bukankah ilmu pengetahuan itu itu terbatas karena merupakan hasil pemikiran dari manusia yang punya keterbatasan?

Kita hanya bisa menjawab rentetan pertanyaan itu dengan ‘kacamata’ iman dan kepercayaan kita masing-masing.  Karena, ilmu pengetahuan manusia tak mungkin dapat menjangkau kuasa Tuhan Pencipta Alam semesta. (Stefamus Bata)

 


Share:

0 comments:

KASUS VINA TERBONGKAR

IKLAN BANNER

GALERY BUDAYA SUMBA

Label

PANORAMA PANTAI LAMALERA

BERITA TERBARU

GALERY BUDAYA MASYARAKAT SABU