Demikian tanggapan Ketua Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Salestinus, SH ketika dimintai tanggapannya terkait kasus dugaan pemusnahan aset berupa 4 los pasar Danga (yang ternyata masih ada, red) yang sedang disidik oleh Polres Nagekeo saat ini.
“Empat los pasar yang oleh penyidik Polres Nagekeo diduga telah dibongkar saat rehab/penataan pasar Danga tahun 2019, ternyata masih ada dan sedang digunakan oleh pedagang hingga saat ini. Sedangkan yang dibongkar saat itu, ternyata bangunan rusak yang sudah tidak bernilai dan tidak tercatat dalam aset daerah. Memang kelihatannya ada yang tidak beres. Saya bisa menduga ada 99 persen kepentingan politiknya dibalik kasus itu. Karena kalau murni, nggak mungkin itu dijadikan kasus korupsi. Ini terlalu dipaksakan,” tandas Petrus Salestinus.
Menurut Salestinus, publik Nagekeo curiga terhadap itikad baik Polres Nagekeo di balik pengungkapan kasus tersebut. Mengingat kasus tersebut sudah lama dipolemikan dan ternyata tidak terdapat fakta yang mengarah kepada tipikor. Namun anehnya, sekarang Polres Nagekeo gencar dan ujug-ujug telah menetapkan 3 orang tersangka bahkan disebut-sebut target operasinya mengarah ke Bupati Nagekeo saat ini.
“Jika targetnya benar demikian, maka penyidikan kasus ini sudah tidak murni penegakan hukum, karena patut diduga ada campur tangan legislatif, bahkan ada campur tangan uang di balik agenda pengungkapan dugaan korupsi dimaksud,” ungkap Salestinus.
Ia menilai penyidik Polres Nagekeo salah kaprah dan keliru dalam pulbaket (pengumpulan bahan dan keterangan, red) atau tanpa pulbaket. “Saya lihat penyidik sudah salah kaprah dan keliru dalam mengidentifikasi objek penyelidikan dan penyidikan sehingga subyek hukum yang menjadi targetpun menjadi eror dan berimplikasi salah mengenai orang apalagi ini bukan peristiwa pidana korupsi. Bangunan lain yang dibongkar, tapi penyidik menghitung kerugian negara dari bangunan yang masih berdiri dan sedang digunakan pedagang hingga saat ini,” beber Salestinus.
Bahkan, lanjutnya, penyidik sudah kehilangan arah sehingga mengait-ngaitkan pembongkaran bangunan tua (yang dibangun sejak tahun 1984, red) dengan proyek pembangunan pasar di tahun-tahun berikutnya. “Yang dilidik dan disidik dugaan pemusnahan aset tapi dibuat seolah-olah kasus korupsi supaya bisa menjerat Bupati. Kalau melihatnya demikian, mengapa baru sekarang Polres Nagekeo melek dan ujug-ujug jadi korupsi. Ini tidak benar, harus dikoreksi dan mengada-ada. Karenanya segera di SP3-kan atau Polres akan menghadapi Pra-peradilan dan upaya hukum lainnya,” tandas Salestinus.
Apalagi saat ini, lanjutnya, mencuat fakta baru bahwa 4 los pasar (yang diduga oleh penyidik Polres Nagekeo telah dibongkar, red), ternyata masih ada dan sedang digunakan oleh para pedagang. “Kalaupun bangunan lain yang dibongkar itu (bangunan tahun 1984, red) masih memiliki nilai buku/ekonomisnya, maka masalah itu hanya masuk dalam ranah perdata,” kata Salestinus.
Menurut Sakestinus, tidak ada unsur melawan hukum dalam Rehab Pasar Danga tahun 2019 karena Bupati Nagekeo memiliki kewenangan mengeluarkan kebijakan untuk direnovasi. “Renovasi/rehab itu tidak saja untuk menaikan nilai ekonomis bangunan, tetapi juga menaikan harkat dan martabat para pedagang atau para papalele yang adalah masyarakat lokal Nagekeo sendiri,” jelas Salestinus.
Salestinus menduga, ada intervensi pihak di luar Polres Nagekeo. “Jadi ini namanya penyidikan korupsi untuk korupsi, karena ada campur tangan (eksekutif atau legislatif atau yudikatif, red) atau karena campur tangan kekuasaan uang. Persoalan renovasi pasar Danga tahun 2019, tidak bisa dikualifikasi sebagai Tindak Pidana Korupsi. Karena faktanya 4 los Pasar Danga yang diduga dimusnahkan masih masih ada dan sedang digunakan,” bebernya.
Sedang los pasar yang dibangun tahun 1984, lanjut Sakestinus, telah direnovasi dengan membangun los pasar baru sehingga menjadi bernilai ekonomis tinggi dan mendatangkan PAD bagi Pemkab Nagekeo. “Para pedagang pengguna Los pasar tersebut yang meminta direhab. Aggarannya juga merupakan sumbangan pengusaha. Lalu salahnya di mana? Kerugian negaranya dari mana?” bebernya.
Jadi proses penyidikan yang dilakukan Polres Nagekeo dalam kasus tersebut, jelas Salestinus, sama sekali tidak mengedukasi masyarakat. “Karena tidak mempunyai nilai pendidikan politik yang baik, karena berusaha mengaburkan fakta-fakta terutama niat baik pemerintah daerah untuk mengangkat harkat dan martabat para pedangang secara layak dan manusiawi,” ungkapnya.
Rehabilitasi Pasar Danga tahun 2019 tersebut, lanjut Salestinus, dilakukan melalui kebijakan pemerintah daerah tanpa menggunakan uang negara. “Terus salahnya dimana? Kok dibilang penghapusan aset? Nomenklatur penghapusan aset itu seperti apa? Kan asetnya tetap ada, hanya bangunan tua yang tidak bernilai lagi itu kemudian diganti dan dibangun lagi bangunan yang sesuai dan asas manfaatnya sudah dirasakan oleh masyarakat. Unsur korupsi yang dimaksud kan oleh Polres Nagekeo itu dimana ? Tanahnya kan tetap ada, ataukah ada bukti uang yang dikorupsi?" ujarnya.
Menurutnya, setiap pejabat memiliki kewenangan Diskresi, yang secara hukum diberikan oleh UU untuk melakukan tindakan tertentu yang tidak diatur dalam UU demi kemaslahatan masyarakat dan bisa dipertanggungjawabkan.
Penyidik, lanjut Salestinus, terlalu memaksakan kasus tersebut menjadi peristiwa pidana korupsi. “Harusnya mereka bisa membedakan antara kegiatan rehabilitasi untuk kemaslahatan para pedagang dan penghancuran untuk mengisi pundi-pundi pejabat,” ujarnya.
Ia menjelaskan, saat rehab Pasar Danga tahun 2019, Pemkab Nagekeo membongkar bangunan lama ( yang dibangun sejak tahun 1984, red) yang sudah tidak bernilai dan tidak tercatat sebaga aset daerah saat penyerahan dari Pemkab Ngada. “Kemudian di atas lahan tersebut di bangun bangunan baru (2 unit Los pasar dan MCK dari sumbangan pengusaha, red). Itu nomenklaturnya rehab, bukan pemusnahan,” jelasnya.
Misalnya, Salestinus mencontohkan, ada jalan milik negara/daerah yang dibongkar untuk perbaikan drainase yang tersumbat. Kemudian dibangun drainase yang baru yang lebih bagus dan jalan tersebut diperbaiki kembali. “Apakah itu dapat dikategorikan Tipikor? Penyidik Polres Nagekeo harus jeli dan hati-hati melihat ini. Jangan asal proses hukum karena ada embel-embel di balik itu,” kritik Salestinus.
Selestinus juga mempertanyakan asal usul kerugian negara yang ditetapkan penyidik Polres Nagekeo. "Kalau Los pasar senilai Rp 300-an juta itu masih ada. Dan ternyata Los yang dibongkar itu adalah bangunan lain (yang sudah tidak ada nilai bukunya sehingga tidak tercatat sebagai aset daerah sejak penyerahan aset oleh Pemkab Ngada ke Pemkab Nagekeo, red), terus korupsinya dimana?” kritinya.
Apalagi, lanjut Salestinus, anggaran rehab/revitalisasi pasar tersebut bukan berasal dari uang negara. “Tidak ada uang negara yang digunakan untuk rehab/revitalisasi pasar Danga tahun 2019. Lalu uang darimana yang dikorupsi oleh para tersangka? Sebaliknya, justru negara/daerah diuntungkan senilai Rp 200-an juta. Orang nyumbang ke negara kok dipidana? Yang benar saja Pak Kapolres?” kritiknya lagi.
Kapolres Nagekeo, AKBP Yuda Pranata yang dikonfirmasi Tim Media ini melalui pesan WhatsApp sejak Sabtu (25/3/23), tidak memberikan respon hingga berita ini ditayang.
Seperti diberitakan berbagai media sebelumnya, Polres Nagekeo menetapkan 3 orang tersangka dalam kasus dugaan pemusnahan aset daerah berupa 4 Los pasar Sangat, Mbay dengan nilai perolehan sekitar Rp 300-an juta. Namun ternyata terungkap fakta bahwa 4 unit pasar tersebut masih ada dan sedang digunakan oleh para pedagang. (vn/tim)