Gabriel Goa
Jakarta, Voice News.Id - Para pegiat anti korupsi yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Pemberantasan Korupsi Indonesia (Kompak) Indonesia dan Aliansi Masyarakat Madani Nasional (AMMAN) FLOBAMORA menilai Dana Program Pencegahan Stunting sekitar Rp 165 Milyar yang di Kelola oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Nusa Tenggara Timur (NTT) Tahun Anggaran (TA) 2018 hingga 2021 ludes atau habis dikelola Pemprov NTT. Namun pengelolaan dana yang bersumber dari APBD NTT (sekitar Rp 125 M) dan APBN (sekitar Rp 40 M) tersebut tidak berdampak signifikan bagi penurunan stunting (anak tumbuh kerdil, red) di NTT. Angka stunting di NTT malah tetap tertinggi di Indonesia ditahun 2022, yaitu 22 persen (naik 1,1 persen dari tahun 2021 yaitu 20,9 persen, red).
Demikian disampaikan Ketua Kompak Indonesia, Gabrial Goa dan Ketua AMMAN FLOBAMORA, Roy Watu Pati dalam rilis tertulis kepada tim media ini, pada Rabu (23/03/2022).
"Bahkan menurut data media CNN pada 5 Maret 2022, tercatat ada 5 (lima) dari 22 Kabupaten/Kota di NTT (Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Alor, Sumba Barat Daya, dan Manggarai Timur, red) masuk kategori angka tertinggi stunting di Indonesia ditahun 2022. Ini miris, anggaran besar dialokasikan untuk cegah stunting tapi angka stunting terus naik dan tinggi di NTT," kritik duo pegiat anti korupsi itu dalam rilisnya.
Gabriel Goa dan Roy Watu Pati menduga gagalnya Pemprov NTT (khususnya Pokja Penanganan Stunting, red) dalam pencegahan stunting, oleh karena perencanaan program dan pelaksanaannya, termasuk pengelolaan anggaran program tersebut tidak tepat sasaran.
Roy Watu PatiDuo pegiat anti korupsi yang akrab disapa Gab dan Roy itu menjelaskan, bahwa berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia (RI) Nomor 91.C/LHP/XIX.KUPANG/05/2021, tertanggal 17 Mei 2021 Tentang Kinerja Atas Efektifitas Upaya Pemprov NTT Dalam Mendukung Percepatan Pencegahan Stunting Pada Wilayah Provinsi NT Tahun Anggara (TA) 2018 s/d 2021, ada sejumlah program pencegahan stunting oleh Pemprov NTT yang dinilai bermasalah.
"Diantaranya pemberian Makanan Tambahan senilai Rp 46,5 Milyar. Pembangunan dan pengembangan air bersih senilai Rp 8,7 Milyar tidak direalisasikan pada desa prioritas pencegahan stunting, hibah ternak sekitar Rp 18,1 Milyar, rumah pangan lestari sekitar Rp 9,9 Milyar, bantuan stimulan perumahan sekitar Rp 32,2 Milyar. Kami nilai programnya gagal kena target penerima manfaat? Jadi masuk akal kalau tidak ada efek bagi penurunan stunting di NTT dan ini sangat disayangkan," ungkap Gab dan Roy.
Gab dan Roy juga mengaku kecewa membaca informasi media (pada 23/03) tentang Angka Stunting di Povinsi NTT tahun 2022 mengalami kenaikan sebesar 1,1 % (persen) menjadi 22 persen dari tahun sebelumnya (tahun 2021, red) yang tercatat hanya 20,9 persen.
"Perlu dipertanyakan kapabilitas dan kinerja tim kerja (Pokja, red) Pemprov NTT terkait pencegahan stunting. Mungkin perlu dilihat dan dievaluasi lagi tim kerja oleh pasangan Viktori-Joss, karena sepertinya ada yang kurang beres terkait pengelolaan program dan anggarannya, yang tidak berpengaruh signifikan bagi penurunan stunting di bumi Flobamora," tegas Roy dan Gab.
Yang paling penting, kata Gab dan Roy, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu hadir di NTT untuk menelusuri dugaan adanya penyimpangan atau penyelewengan pengelolaan dana program tersebut, karena itu dana negara yang diperuntukkan bagi kepentingan rakyat yang sedang menderita.
Menurut Gab dan Roy, berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor 71 Tahun 2019 tentang Aksi Percepatan Pencegahan dan Penanganan Stunting di Provinsi NTT Tahun 2019-2023, Pemprov NTT memiliki peran untuk meningkatkan koordinasi antara Perangkat Daerah Provinsi dengan Perangkat Daerah Kabupaten/Kota terkait pelaksanaan Aksi Konvergensi Stunting.
“Termasuk di dalamnya pelaksanaan kegiatan intervensi gizi spesifik dan sensitif. Namun dari hasil pemeriksaan di lapangan, diketahui bahwa masih terdapat permasalahan terkait pelaksanaan kegiatan intervensi gizi sensitif,” tulis Gab dan Roy mengutip LHP BPK.
Permasalahan tersebut menurut BPK, jelas Gab dan Roy, antara lain: a)Koordinasi Intervensi Gizi Spesifik belum dilaksanakan, seperti 1)Bina Keluarga Balita; dan 2) Pengelolaan PAUD. b)Pelaksanaan Kegiatan Pembangunan dan Pengembangan Air Bersih belum diprioritaskan di Lokasi Prioritas Stunting.
Menurut BPK, lanjut Gab dan Roy, kondisi tersebut tidak sesuai dengan: 1)Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Anak Kerdil (stunting) Periode 2018-2024 dan Keputusan Gubernur NTT Nomor 159/KEP/HK/20 T tentang lokasi prioritas penanganan kemiskinan dan stunting Provinsi NTT tahun 2020 dan 2021. Juga Peraturan Gubernur NTT Nomor 71 Tahun 2019 tentang Aksi Percepatan Pencegahan dan Penanganan Sunting di Provinsi NTT Tahun 2019-2023.
Sesuai LHP BPK, jelas keduanya, kondisi tersebut disebabkan oleh:
a) Pemerintah Provinsi NTT belum menyusun pedoman pelaksanaan koordinati antar OPD lintas sektor dan pelihatan pihak son-pemerintah;
b) Dinas Kesehatan Provinsi NTT belum melakukan koordinasi OPD Lintas Sektor terkaitkegiatan BKB dan Dinas Pendidikan Provina NTT terkait Kelas Pendidikan Pengasihan pada Orang Tua, dan Pengelolaan PAUD;
c) Dinas PUPR Provinsi NTT belum mengutamakan lokasi prioritas sunting dalam kegiatan pembangunan dan pengembangan air bersih;
d) Dinas PMD Provinsi NTT belum melakukan monitoring terhadap kegiatan yang dilakukan oleh petugas pelaporan pemantauan Ibu dan Bayi; dan
e) Bappelitbangda belum melakukan sosialisasi atas kebijakan pemberian belanja bantuan khusus kepada kabupaten kota.
BPK RI juga merekomendasikan kepada Gubernur NTT agar menginstruksikan:
à ) Sekretaris Daerah untuk menyusun kebijakan pelaksanaan koordinasi OPD lintas sektor tingkat provinsi dan mekanisme kerjasama atau keterlibatan pihak lain (non pemerintah);
b) Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTT untuk melakukan koordinasi OPD Lintas Sektor terkait pelaksanaan BKB dan Dinas Pendidikan Provinsi NTT terkait pelaksanaan Kelas Pendidikan Pengasihan pada Orang Tua, dan Pengelolaan PAUD;
c) Kepala Dinas PUPR untuk ke depannya mempertimbangkan lokasi prioritas sunting untuk pembangunan dan pengembangan air bersih;
d) Kepala Dinas PMD Provinsi NTT untuk bersurat kepada Dinas PMD Kabupaten Kota agar melaporkan kegiatan pemantauan ibu dan bayi, dan;
e) Kepala Bappelitbangda Provinsi NTT untuk mensosialisasikan kebijakan pemberian Belanja Bantuan Khusus kepada kabupaten/kota. (vn/tim)